(Opini) Politik dalam Jagad Simulacra

By Admin


Oleh: Makmur Gazali 

FILSUF Prancis Jean Baudrilard pernah menulis bahwa ‘kebenaran adalah hal yang patut ditertawakan’. Dan di jagad politik, kebenaran adalah produk dari sebuah kemasan. Di dunia ini, kebenaran politik sama dan sebangun dengan persepsi publik. Maka tidak mengherankan segala yang menyangkut gerak-gerik perilaku politik senantiasa tidak terlepas dari apa yang akrab disebut citra atau pencitraan. 

Lalu sejak kapan politik tidak lagi mampu terlepas dari kemasan atau pencitraan? Terus terang saya kurang tahu. Namun jejaknya bisa kita telusuri hingga ke era modern sejak media massa ditemukan dan kapitalisme -dengan teknik pemasaran komoditas- merajai cara publik mengkonsumsi kebutuhannya. 

Pada zaman pra-modern, ranah politik merupakan zona yang sangat eksklusif, bertembok tinggi dan hanya menjadi 'permainan' kalangan kasta tertentu, seperti raja, bangsawan dan kalangan pendeta. Di era ini, perebutan kekuasaan hanya melingkar di pusaran tersebut dan kalau pun ada peristiwa yang menyimpang, itu selalu ditafsir sebagai kemauan dari 'langit'. 

Dalam kondisi politik semacam itu, pencitraan bisa dipastikan tak memiliki makna apa-apa, bahkan tak dikenal sama sekali. Kerepotan politik dan intrik yang mengiringinya hanya berpusar di belakang 'layar tertutup'. Segalanya jauh dari hiruk-pikuk rakyat kebanyakan. 

Namun sejak politik semakin mencair menyentuh kesadaran aktivitas publik dan media massa menjadi 'penyambung dan penyampai informasi' maka ruang-ruang relasi politik mengalami perubahan yang dahsyat. Pada saat ini, era monarki dengan para bangsawan sebagai garda depannya perlahan runtuh dan digantikan para 'pekerja' politik (baca: politisi) dengan asal dan akar dari berbagai ragam kalangan. Media massa pun semakin berkibar dalam membangun efek komunikasinya sebagai pembangun opini publik. 

Di sini, para politisi yang ingin menjejak kekuasaan mau-tak mau harus sadar dan tunduk pada 'hukum besi' media massa. Untuk menjangkau sebanyak-banyaknya publik dan sekaligus mempengaruhi mereka, para politisi ini sangat tergantung pada daya sebar media massa.  

Bersamaan dengan itu, revolusi teknologi informasi dan digital menderu. Dunia menjadi mengkerut di sana. Dengan sekali ‘klik’ -dengan teknologi internet- kita mampu menjaring informasi yang tak terhingga. Kondisi ini semakin membikin ranah politik mengalami ‘turbulensi’ keras. Politik menjadi semakin terpersonalisasi. Pengaruh figur politisi semakin meraja di sana. 

Dengan begitu, politik tidak lagi berada dalam tataran ‘dirkursus ideologi’, namun bermetamorfosis sebagai ‘personal’. Di sinilah politik kemasan atau lebih dikenal sebagai politik pencitraan menemukan momentumnya. Jagad politik menjadi -meminjam bahasa Baudrilard- sebuah komoditas yang sangat tunduk pada sistem ‘pemasaran’ dan karena itu tak bisa luput dari bagaimana mengemas komoditas tersebut. Dunia politik menjelma menjadi ‘hiperrealitas’. Jagad yang harus dipoles sedemikian rupa dan membentuk dunianya sendiri. Politik kemudian meluncur di dunia ‘simulacra’. Dunia yang memasukkan segala unsur; imajinasi, fakta, drama, fantasi, metafora, persepsi, puisi dalam sebentuk episode gemerlap selebritas. Sebuah dunia dalam kemasan (penulis adalah jurnalis)